وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ
خَلَقَهُمْ
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)
Penjelasan mufradat ayat
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dia menjadikan manusia umat yang satu.”
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)
Penjelasan mufradat ayat
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dia menjadikan manusia umat yang satu.”
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (An-Nahl:
36)
- Bermakna imam (pemimpin yang dapat dijadikan teladan). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, lagi hanif.” (An-Nahl: 120)
- Bermakna millah (agama, ajaran). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama.” (Az-Zukhruf: 23)
- Bermakna zaman (masa, waktu). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
“Dan
berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat
(kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya.” (Yusuf: 45)
Adapun kata umat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir ayat kali ini, mengandung arti millah (agama, ajaran).
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu (ketika menafsirkan ayat ini) menyebutkan
beberapa pendapat tentang makna umat dalam ayat ini. Sa’id bin Jubair
rahimahullahu mengatakan bahwa maknanya adalah semua menganut agama
Islam.
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata: “Semuanya menjadi penganut
agama yang satu, baik sebagai penganut kesesatan atau sebagai penganut
kebenaran.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (lihat pada tafsir
ayat ini) berkata: “Mereka semua jamaah yang satu, menganut millah dan
agama yang satu (sama).” Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari
Qatadah, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka muslim
semuanya.” Pendapat yang semisal juga dikatakan oleh Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnul
Jauzi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya.
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata berselisih dalam ayat ini:
1.
Ada yang berpendapat maknanya adalah berbeda-beda dalam hal agama,
keyakinan, kepercayaan, dan madzhab mereka. Sehingga manusia senantiasa
berada di atas (menganut) agama yang berbeda-beda, dari mulai agama
Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrik. Pernyataan ini diucapkan oleh
Mujahid dan Qatadah rahimahumallah.
2. Maknanya adalah berbeda dalam
hal rezeki. Sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, sebagian
mereka merendahkan sebagian yang lain. Al-Alusi rahimahullahu berkata
dalam tafsirnya: “Ini pendapat yang gharib (asing).”
3. Maknanya
adalah sebagian menjadi pengikut kebenaran dan sebagian menjadi pengikut
kebatilan. Sehingga para pengikut kebatilan senantiasa menyelisihi
pengikut kebenaran.
4. Maknanya, ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu)
senantiasa menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan yang
menyimpang, sehingga mengantarkan mereka ke dalam neraka. Masing-masing
memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya. Adapun kesesatan
(kesalahan) ada pada pendapat orang lain.
إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu.”
Al-Qurthubi
rahimahullahu berkata: “Akan tetapi orang-orang yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Al-Hasan rahimahullahu: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati tidak akan berselisih.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Mereka adalah ahlul haq (pengikut kebenaran).”
Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati dalam ayat ini
adalah mereka yang menjadi pengikut para rasul, berpegang teguh dengan
apa yang diperintahkan dalam agama yang telah diberitakan para rasul
kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata
dalam Majmu’ Fatawa (4/25): “Mereka adalah pengikut para nabi, baik
dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul Qur’an dan ahlul
hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa pun yang menyelisihi mereka
dalam sebuah perkara, luputlah darinya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”
Asyhab
berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Malik rahimahullahu tentang
tafsir ayat ini, beliau menjawab: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan
mereka supaya ada kelompok yang masuk ke dalam jannah dan ada kelompok
yang masuk ke dalam neraka’.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu
berkata: “Untuk ikhtilaf (berselisih)lah Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan mereka.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Untuk rahmat
mereka diciptakan.” Di sebagian riwayat lain beliau berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka sebagian menjadi penduduk jannah,
sebagian menjadi penduduk neraka. Sebagian ada yang celaka, sebagian
ada yang bahagia.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka menjadi dua golongan. Hal itu
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105)
Thawus
rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan
mereka untuk berselisih, akan tetapi menciptakan mereka untuk bersatu
dan rahmat.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Untuk rahmatlah mereka itu diciptakan dan tidak untuk azab.”
Penjelasan makna ayat
Asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut agama Islam.
Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu
apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Allah l menetapkan
mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus,
mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing
memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada
pada pendapat selainnya. “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Rabbmu” maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk mereka kepada
ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya.
Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka.
Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan
urusannya kepada diri mereka masing-masing. “Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka,” hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa
mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat)
dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada
golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada pula
golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi
manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia,
berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan
ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali
dengan adanya sebuah ujian dan cobaan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, pada
surat Hud: 118-119)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Pada ayat
ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ia mampu untuk
menjadikan manusia semuanya menjadi umat yang satu, baik di atas
keimanan ataupun di atas kekufuran. Seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya.” (Yunus: 99)
Persatuan merupakan perkara yang prinsip dalam agama
Dalam
Islam dikenal adanya perkara-perkara yang prinsip dan mendasar, yang
sangat penting untuk diketahui bersama. Salah satu prinsip tersebut
adalah persatuan (di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman
salaful ummah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu
dalam risalahnya Al-Ushul As-Sittah (Enam Prinsip Agama) menyebutkan:
“Adapun prinsip yang kedua adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan persatuan dalam agama dan melarang dari perpecahan.”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata dalam Silsilah Syarh
Rasa’il (hal. 24-26): “Prinsip ini ada pada Al-Qur’anul Karim.” Kemudian
beliau menyebutkan beberapa ayat, di antaranya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Kemudian
beliau berkata: “Kaum muslimin tidak boleh bercerai-berai dalam agama
mereka. Yang wajib adalah mereka menjadi umat yang satu di atas tauhid,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya
(agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku
adalah Rabb kalian maka sembahlah Aku. (Al-Anbiya’: 92)
Umat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh terpecah-belah dalam aqidah,
ibadah, dan hukum agama mereka. Satu mengatakan halal, yang lain
mengatakan haram tanpa disertai dalil. Yang demikian ini tidak
diperbolehkan. Tidak diragukan bahwasanya perselisihan adalah bagian
dari tabiat manusia, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
firmankan:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Namun
perselisihan hendaknya diselesaikan, yaitu diputuskan dengan
mengembalikan perkaranya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga
apabila terjadi perselisihan antara saya dengan anda, wajib atas kita
semua untuk mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Kemudian
jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Adapun
pernyataan bahwa masing-masing (berhak) mempertahankan madzhab
(pendapat)nya, masing-masing (berhak) mempertahankan aqidahnya, manusia
bebas dalam berpendapat, menuntut kebebasan dalam beraqidah, kebebasan
dalam berucap; ini adalah kebatilan (tidak benar) dan termasuk perkara
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Persatuan adalah rahmat sekaligus karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung
Seperti
yang tersebut dalam penjelasan di atas, persatuan umat adalah suatu
perkara yang mulia, dan hal itu semata-mata rahmat yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Sebagaimana yang tersebut dalam ayat:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Termasuk
karunia agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada
hamba-Nya adalah Allah l menurunkan syariat kepada mereka dengan sebuah
agama terbaik dan termulia, yang paling bersih dan paling suci, yaitu
agama Islam. Agama tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi
hamba-hamba pilihan-Nya dan yang bagus, bahkan yang paling bagus dan
yang paling terpilih. Mereka adalah ulul azmi dari para rasul. Mereka
adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling sempurna dari
segala sisi. Maka, agama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk
mereka, mengharuskan adanya sisi keserasian dengan keadaan mereka.
Sesuai dengan kesempurnaan mereka. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyempurnakan dan memilih mereka, karena mereka menegakkan
(menjalankan) agama itu. Kalau bukan agama Islam, tidaklah seorang pun
terangkat derajatnya dari yang lain. Ia merupakan inti kebahagiaan,
poros utama kesempurnaan.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menegakkan (melaksanakan)
syariat-syariat agama, baik yang prinsip maupun yang cabang. Ditegakkan
pada diri mereka masing-masing dan berupaya untuk ditegakkan pada yang
lainnya. Saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan serta tidak
tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran. Maka Allah l perintahkan
agar tidak berselisih di dalamnya, untuk meraih kata sepakat di atas
prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.
Oleh karena itu,
berupayalah agar setiap permasalahan tidak menyebabkan berpecah-belahnya
dan terkotak-kotaknya kalian. Masing-masing membanggakan kelompoknya.
Sebagian memusuhi yang lain, meskipun di atas agama yang satu.
Di
antara jenis persatuan di atas agama dan tidak mengandung perselisihan
adalah apa yang diperintahkan syariat untuk bersatu pada perkumpulan
yang bersifat umum. Seperti persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji,
pelaksanaan Iedul Fitri, Iedul Adha dan shalat Jum’at, shalat berjamaah
lima waktu, jihad, dan ibadah-ibadah lainnya, yang tidak sempurna
kecuali dengan persatuan dan menghindari perselisihan padanya. (Taisir
Al-Karimir Rahman pada ayat 13 dari surat Asy-Syura)
Perpecahan adalah suatu kepastian
Salah
satu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa diingkari
yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan manusia dalam keadaan
senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Hud: 118)
Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
افْتَرَقَتِ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً،
وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
“Yahudi
terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72
golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan.” (Hasan
Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja).
Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48)
Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullahu berkata pada tafsir surat Hud ayat 119: “Hikmah Allah
Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan (senantiasa
berselisih) agar ada dari sebagian mereka yang bahagia dan ada yang
celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada golongan yang tersesat.
Demikian pula agar nampak keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga
supaya nampak apa yang tersembunyi dari tabiat manusia berupa hal yang
baik dan yang buruk, serta tegaknya jihad dan ibadah yang mana keduanya
tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan melewati sebuah ujian
dan cobaan.”
Perpecahan adalah azab
Sebagaimana yang tersebut
pada ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan akan
terjadinya perselisihan pada hamba-hamba-Nya. Namun hal ini bukanlah
menjadi hujjah (alasan) untuk senantiasa bangga dan senang hidup di atas
perselisihan. Karena pada ayat-ayat yang lain, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan celaan terhadap perselisihan dan melarang menyerupai
kaum musyrikin serta memerintahkan kepada persatuan.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا
تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah
kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 27-28): “Perselisihan
bukanlah rahmat. Perselisihan adalah azab.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Ali ‘Imran: 105)
Maka
perselisihan mengakibatkan tercerai-berainya hati dan terpecah-belahnya
umat. Apabila telah terjadi perselisihan, tidak mungkin bagi manusia
untuk tolong-menolong, bantu-membantu. Bahkan yang akan terjadi sesama
mereka adalah permusuhan, fanatisme (ta’ashub) kepada golongan dan
kelompoknya. Tidak akan pernah terjadi bentuk ta’awun. Karena ta’awun
itu akan terjadi apabila mereka bersatu, berpegang teguh kepada tali
(agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini pulalah yang diwasiatkan oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai atas kalian tiga
perkara: beribadah hanya kepada-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan
suatu apapun, berpegang teguh semuanya kepada tali agama Allah dan tidak
bercerai-berai, serta menaati orang yang Allah menguasakan padanya
urusan kalian kepadanya.” (HR. Muslim dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari tiga hal yang
disebutkan dalam hadits ini, yang menjadi pembahasan kita adalah sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “berpegang teguhlah kepada tali
agama Allah semuanya dan jangan bercerai-berai.” Hadits ini bukanlah
bermakna tidak akan dijumpai perselisihan dan perpecahan, karena tabiat
manusia adalah adanya perselisihan. Namun maknanya adalah apabila
terjadi perselisihan atau perbedaan, hendaknya diselesaikan dengan
mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga
berakhirlah perseteruan dan perselisihan. Inilah yang benar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah.”
(Al-An’am: 159)
Orang yang dirahmati dijauhkan dari perselisihan
Qatadah
rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah orang-orang yang bersatu, meskipun tempat tinggal dan badan-badan
mereka berjauhan atau berpisah. Adapun orang-orang yang durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang berselisih walaupun tempat
tinggal dan badan mereka bersatu.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:
“Orang yang dirahmati (yakni yang terhindar dari perselisihan) adalah
pengikut para rasul yang berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan
dalam agama-Nya, yaitu agama yang ajarannya telah diberitakan para rasul
kepada mereka. Keteguhan ini terus senantiasa terjaga hingga datangnya
Rasul dan Nabi yang terakhir (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menolongnya, sehingga mereka
menjadi orang yang beruntung dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal
itu karena mereka adalah kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah),
seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam beberapa
kitab Musnad dan Sunan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani
terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73
golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat
bertanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Siapapun
yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku ada padanya.” (HR.
Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778)
Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27):
“Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya
berselisih dan berbeda pendapat tanpa meletakkan kepada kita timbangan
dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan. Bahkan
Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa: 59)
Juga
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku
tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya
tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR.
Malik)
Seolah-olah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada
di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga
keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
umat ini, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan
mereka dalam kebingungan. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada sesuatu yang
membimbing mereka di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran.
Adapun
orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing
dibiarkan pada madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: “Kita
bersatu dalam perkara yang kita sepakat padanya dan kita saling
memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita
berselisih padanya.” Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang
batil dan keliru. Yang wajib adalah bersatu di atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita
memberikan udzur atas sebagian yang lain dalam keadaan tinggal di atas
perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil.
Sedangkan yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib
atas kita semua. Jangan biarkan umat dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi berselisih, berhujjah dengan hadits:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat.”
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian
Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara
sebatas pada perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan
menjadi penegak hukum bagi mereka dalam harta serta perselisihan mereka
dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah penegak
hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan.
Pertentangan dalam urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang
pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan dalam urusan ibadah,
urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang
pertentangan dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta
hanyalah bagian atau sebagian kecil dari perselisihan yang putusannya
wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan
di antara para sahabat g. Akan tetapi begitu cepatnya mereka itu
menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan
mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar masalah siapa yang pantas
menjadi Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun betapa
cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan mengembalikan serta
memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu. Mereka pun menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu dan sirnalah perselisihan.
Sesungguhnya, kembali kepada
Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak boleh
seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada
seseorang: “Mari kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau ‘Alim
Fulan,” tentunya dia tidak akan merasa puas. Akan tetapi kalau Anda
katakan kepadanya: “Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya,” jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan
rujuk dari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila
mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum dan
mengadili di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami
patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Inilah
jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya). Adapun orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan
membenarkan apa yang pada mereka, mereka akan datang dan mendengarkan
dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi mereka, mereka akan
berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’ala beritakan tentang keadaan mereka.
Sehingga tidak ada celah
bagi kaum mukminin untuk tetap mempertahankan dan tinggal pada
perselisihan, tidak dalam perkara ushul (pokok) dan tidak pula dalam
perkara furu’ (cabang). Jika terjadi perselisihan hendaknya semuanya
diputuskan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian apabila tidak nampak jelas dalil bersama salah satu
ulama yang berijtihad, dan masalah menjadi seimbang, tidak ada yang
dikuatkan atau tidak menguatkan pendapat salah seorang pun atas yang
lain, maka pada kondisi seperti ini seseorang tidak boleh mengingkari
pendapat imam tertentu. Dari sinilah ulama berkata: “Tidak ada
pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihad,” yaitu masalah yang tidak
nampak jelas kebenarannya bersama salah satu dari kedua belah pihak.
Faidah
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam kitabnya Iqtidha
Ash-Shirathil Mustaqim, pada pasal yang menjelaskan macam-macam
perselisihan: “Adapun jenis perselisihan pada asalnya dibagi dua;
ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan keberagaman) dan ikhtilaf tadhad (perbedaan
yang saling bertolak belakang).
Ikhtilaf tanawwu’, ada beberapa bentuk, di antaranya:
1.
Keadaan di mana masing-masing pihak membawa kebenaran yang
disyariatkan. Seperti perselisihan dalam qiraat (Al-Qur’an) yang terjadi
di kalangan para sahabat. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengingatkan dengan keras tentang perselisihan ini, namun
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kedua-duanya bagus.”
2.
Keadaan di mana masing-masing pendapat pada kenyataannya sama secara
makna, akan tetapi ungkapan yang dipakai atau digunakan berbeda.
3.
Apabila terjadi perbedaan dan masing-masing menggunakan ungkapan yang
maknanya berbeda, akan tetapi tidak bertolak belakang, maka pendapat
yang ini benar dan pendapat yang itu juga benar. Makna ungkapan yang
dipakai pihak satu berbeda dengan pihak yang yang kedua, dan hal ini
cukup banyak terjadi pada perdebatan.
4. Keadaan di mana
masing-masing menempuh jalan yang disyariatkan, namun satu kaum menempuh
satu jalan, kaum yang lain menempuh jalan yang lainnya, dan keduanya
bagus dalam agama. Kemudian kejahilan atau kezaliman mendorong mereka
untuk mencela terhadap salah satunya, atau memuliakan tanpa maksud yang
benar, atau karena ketidaktahuan atau tanpa kesengajaan.
Adapun
ikhtilaf tadhad adalah dua pendapat yang bertolak belakang, baik dalam
perkara ushul maupun perkara furu’, menurut jumhur ulama, mereka
mengatakan yang benar hanya satu. Adapun pendapat yang mengatakan setiap
mujtahid benar, maka ini maknanya mujtahid yang berselisih dalam
ikhtilaf tanawwu’, bukan ikhtilaf tadhad. Perkara ikhtilaf tadhad ini
lebih sulit, karena kedua belah pihak membawa pendapat yang bertentangan
(saling menjatuhkan). Misalnya antara sunnah dan bid’ah, antara halal
dan haram.
Ikhtilaf yang kita sebut ikhtilaf tanawwu’, masing-masing
dari kedua belah pihak benar tanpa diragukan. Namun celaan tetap tertuju
kepada orang yang membenci pendapat yang lain, karena Al-Qur’an telah
memuji kedua belah pihak, selama tidak terjadi penentangan dari salah
satu pihak.
Kemudian, jenis ikhtilaf yang ketiga adalah ikhtilaf
afham (perbedaan pemahaman). Hal ini sebagaimana yang disepakati Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari penyerangan terhadap Bani
Quraizhah di mana beliau berpesan agar tidak boleh seorang pun shalat
ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah. Maka sebagian mereka
melakukan shalat ashar pada waktunya, sedangkan yang lain
mengakhirkannya hingga sampai ke Bani Quraizhah. Juga sebagaimana sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila seorang hakim berijtihad
dan benar ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila berijtihad
dan tidak benar ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semisal ini cukup banyak.
Jenis
ikhtilaf yang tidak tercela adalah ikhtilaf tanawwu’ dan ikhtilaf
afham. Adapun yang tercela dan diharamkan adalah ikhtilaf tadhad. Jenis
ikhtilaf inilah yang Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebutnya dengan ancaman
yang keras bagi pelakunya.
Wallahu a’lam.
1 Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1/141): “Hadits ini tidak ada asalnya.”
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=929
0 komentar:
Posting Komentar