Oleh Ustadz Alfian
Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan berdasarkan Hisab
Astronomis tidak memiliki dasar hukum sama sekali, baik dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah maupun ijma’. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan
dalil-dalil di atas. Lebih dari itu, bahwa generasi as-salafush shalih
telah bersepakat bahwa cara penentuan Ramadhan adalah hanya dengan ru`yatul hilal.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bâri ketika menjelaskan hadits :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا » يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini. Yakni terkadan 29 hari, terkadang 30 hari.
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu
hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (para shahabat) dahulu tidak
mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Maka
(Syari’at) mengaitkan hukum (kewajiban) shaum dan yang lainnya dengan ru’yah (al-hilâl), dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka jika menggunakan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun pada masa setelah mereka muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) dengan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Beliau tidak berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’.
Hikmah di balik perintah ini adalah terwujudnya kesamaan perhitungan seluruh mukallaf
(kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari ketika langit mendung,
sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar
kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah
kelompok Syî’ah Râfidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan segelintir ahli fiqh terhadap mereka.
Al-Imâm Al-Bâji berkata : Ijmâ’ (Konsesus bersama) generasi as-salafush shâlih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imâm Ibnu Bazâzah berkata : ‘Ini
(berpegang pada ilmu hisab) adalah keyakinan yang batil, syari’at
(Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujûm, karena ilmu tersebut
hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hâfizh–
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
بخلاف من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول
وحساب التقويم والتعديل المأخوذ من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله
صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون
من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه فيقابلون هذه الأقوال
بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع
مجموع الفتاوى [25 /179 ]
“Berbeda dengan orang-orang yang keluar (dari cara yang
haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan) dengan
mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan
kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan
cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah
meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena itu
para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara
tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu
ajaran yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para
‘ulama) menyikapi pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran,
sebagaimana mereka menyikapi ahlul bid’ah.”
ولا ريب أنه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة أنه لا يجوز
الاعتماد على حساب النجوم كما ثبت عنه في الصحيحين أنه قال : { إنا أمة
أمية لا نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته } . والمعتمد على
الحساب في الهلال كما أنه ضال في الشريعة مبتدع في الدين فهو مخطئ في العقل
وعلم الحساب . فإن العلماء . بالهيئة يعرفون أن الرؤية لا تنضبط بأمر
حسابي وإنما غاية الحساب منهم إذا عدل أن يعرف كم بين الهلال والشمس من
درجة وقت الغروب مثلا ؛ لكن الرؤية ليست مضبوطة بدرجات محدودة فإنها تختلف
باختلاف حدة النظر وكلاله وارتفاع المكان الذي يتراءى فيه الهلال وانخفاضه
وباختلاف صفاء . الجو وكدره . وقد يراه بعض الناس لثمان درجات وآخر لا يراه
لثنتي عشر درجة ؛ ولهذا تنازع أهل الحساب في قوس الرؤية تنازعا مضطربا
وأئمتهم : كبطليموس لم يتكلموا في ذلك بحرف لأن ذلك لا يقوم عليه دليل
حسابي . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . وإنما
يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . لما رأوا الشريعة
علقت الأحكام بالهلال فرأوا الحساب طريقا تنضبط فيه الرؤية وليست طريقة
مستقيمة ولا معتدلة بل خطؤها كثير وقد جرب وهم يختلفون كثيرا : هل يرى ؟ أم
لا يرى ؟ وسبب ذلك : أنهم ضبطوا بالحساب ما لا يعلم بالحساب فأخطئوا طريق
الصواب
مجموع الفتاوى [25 /207]
“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah
(hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya
tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada
ilmu hisab astronomi sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau
(Rasulullah ) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahîhain (Al-Bukhâri dan
Muslim) bahwa beliau bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak
bisa menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian
berdasarkan ru’yatul Hilâl, dan ber’idulfitrilah berdasarkan ru’yatul
Hilâl).”
Sementara orang yang menyandarkan diri pada ilmu hisab
untuk menentukan al-hilâl, sebagaimana ia telah sesat dalam syari’at
sekaligus sebagai mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini, maka ia
pun salah menurut akal dan ilmu hisab itu sendiri. Karena sesungguhnya
para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat
ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal
ilmu hisab mereka, kalau benar, adalah menentukan berapa derajat jarak
antara al-hilâl (Bulan) dan Matahari ketika terbenam. Sementara ru’yah
bukanlah perkara yang bisa dihitung secara pasti dalam derajat tertentu.
Karena ru’yah berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat
ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat
tinggi rendahnya tempat melakukan ru`yatul hilâl. Sebagaimana juga
sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja sebagain orang berhasil melihat Al-Hilal pada ketinggian 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak berhasil melihatnya walaupun pada ketinggian 120
(dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih
secara tidak menentu, dan para tokoh mereka –semacam Bathlemous – tidak
berbicara dalam masalah ini sedikitpun, karena permasalahan tersebut
tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab.
Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh ahli
hisab yang datang belakangan –seperti Kusyiar Ad-Dailami dan yang
semisalnya- ketika mereka mendapati bahwa Syari’at (Islam) banyak
mengaitkan hukum-hukum dengan (Ru’yah) Al-Hilâl. Maka mereka meyakini
bahwa ilmu hisab merupakan cara yang bisa digunakan untuk memastikan
ru’yatul hilâl. Padahal cara (hisab) tersebut bukanlah cara yang tepat,
bukan pula cara yang sesuai, bahkan salahnya lebih banyak. Dan itu telah
terbukti. Para pakar ilmu hisab pun banyak berselisih : apakah hilal
-dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya adalah karena mereka memastikan sesuatu
berdasarkan ilmu hisab padahal sesuatu tersebut tidak dapat
diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka
menyimpang dari jalan yang benar.”
فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال
الصوم أو الحج أو العدة أو الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال
بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى
الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف
قديم أصلا ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد
المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه
بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان
مقيدا بالإغمام ومختصا بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما
اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم .
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
“Maka kita mengetahui secara pasti dari agama Islam, bahwa menentukan terlihatnya hilaldalam penentuan pelaksanaan ibadah shaum, haji, ‘iddah, ila’ atau
hukum-hukum lainnya yang terkait dengan hilal berdasarkan berita
seorang ahli hisab bahwa hilal terlihat atau tidak terlihat, maka yang
demikian tidak boleh. Dalil-dalil yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam
masalah ini sangat banyak, dan kaum muslim telah berijma’ dalam masalah
tersebut. Tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dalam masalah
tersebut, baik dulu maupun sekarang. Kecuali sebagian muta’akhkhirin
dari kalangan orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli fiqh, yang
muncul setelah abad ke-3 mengklaim bahwa apabila hilal terhalangi
mendung maka boleh bagi seorang ahli hisab untuk menerapkan hisabnya
untuk dirinya sendiri, jika hisab menunjukkan hilal terlihat maka
berpuasa, jika tidak maka tidak berpuasa. Klaim ini, meskipun terbatas
pada waktu mendung dan khusus bagi ahli hisab itu itu saja, maka
merupakan pendapat yang ganjil, telah terdahului oleh ijma’ yang menunjukkan hal sebaliknya. Adapun mengikuti
klaim tersebut dalam kondisi cerah atau mengkaitkan hukum umum
dengannya, maka tidak diucapkan oleh seorang muslim pun.“
Sumber: http://dakwahalabror.wordpress.com/2012/07/27/penjelasan-para-ulama-tentang-penentuan-ramadhan-dan-idul-fitri-berdasarkan-hisab-falaki-2/
0 komentar:
Posting Komentar